Saturday, October 21, 2006

Film.Indonesia

Hari ini, saya baru saja menonton another Indonesian Film. Judulnya : DENIAS senandung di atas awan. Tertarik ? Jujur, awalnya saya biasa saja terhadap film ini. Bukan apa - apa. Tapi memang saya sedikit skeptis dengan film - film Indonesia akhir - akhir ini. Kebanyakan film Indonesia tidak pernah menyoroti isu-isu sosial dan hanya berbicara tentang cinta...cinta dan cinta. Apakah saya benci dengan cinta ?
Tidak...tapi memang film - film Indonesia dan ratusan film - film lainnya seakan - akan mengedepankan tema cinta. Bosan ? Jelas. Tapi, herannya justru film - film tipe inilah yang mencetak box office. Semua tentu masih ingat, bagaimana Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel I’m in Love mencetak sukses yang luar biasa. Bukan berarti saya mengecilkan arti dari kedua film tersebut. AADC menurut saya adalah awal dari kebangkitan dunia perfilman Indonesia yang sudah lama tertidur pulas. Sayangnya, perkembangan ini tidak diikuti dengan hal yang positif. Akibatnya ? Jelas, tidak ada film yang mencetak box office seperti kedua film ini. Penonton sudah bosan dengan tema - tema serupa yang kemudian mempunyai alur yang serupa. Bahkan, kemudian berimbas film - film yang mempunyai kualitas yang bagus seperti Berbagi Suami yang jelas menyoroti fenomena sosial di Indonesiapun tidak mampu mencetak sukses. Ironisnya, justru film ini berjaya di pentas internasional ?
Ada Apa Dengan Penonton Indonesia ?

Mengapa saya akhirnya menonton ?
Mungkin saya harus berterima kasih kepada orang tua saya. Mereka yang pertama kali memutuskan untuk menonton film ini. Dan, setelah film selesai. Tidak ada perasaan menyesal sedikitpun alias PUAS.

Saya percaya, sebuah film seharusnya tidak hanya sebagai pengeruk keuntungan semata, tapi sebuah film harus mampu memberikan pembelajaran. Terlalu muluk ? Mungkin. Tapi saya sendiri mengalaminya. Begitu juga ketika saya menonton Denias. Film ini tidak hanya memberikan pengetahuan tapi juga memberikan pertanyaan - pertanyaan. Ketika ibu Denias meninggal, adat di papua mengharuskan ayah Denias untuk dipotong jarinya. Menakutkan ? Iya, tapi ini jelas suatu pengetahuan lebih. Bagaimana mungkin adat dari negara kita sendiri kita tidak mengetahuinya. Justru dari film ini kita bisa tahu. Meskipun cuma sedikit tapi itu adalah proses belajar. Ditambah lagi pemandangan - pemandangan PAPUA yang indah. Saya yakin tidak banyak tahu potensi dari PAPUA. Kebanyakan dari kita hanya tahu PAPUA identik dengan Freeport. Padahal PAPUA lebih dari itu. Kemudian, saya merasa kalimat - kalimat di film ini serasa menggelitik kita.
Seperti kalimat Maleo untuk Denias yang pada intinya belajar itu tidak harus di sekolah, kita bisa belajar di mana saja. Jaman Sekarang, semua orang selalu mengedepankan suatu status formal yang kita raih. Padahal, banyak juga produk - produk dari sekolah justru tidak dapat berbuat banyak di masyarakat alias nol besar. Di sinilah, arti penting dari sekolah kemudian dipertanyakan kembali. Sudahkan sekolah memberikan sesuatu yang penting di dalam perkembangan bangsa ini ? Ditambah lagi dengan biaya skeolah yang cukup tinggi...
Kemudian, kata - kata dari Ibu Gembala ( Marcella Zalianty ) yang intinya ternyata di antara suku2 Papua sendiri masih ada yang bersifat membeda - bedakan. Bukankah ini keadaan negara kita sekarang. Kemerdekaan yang kita raih seakan - akan semu. Karena bangsa kita sulit untuk bisa akur. masih ada saling mencurigai, masih ada saling menikam dari belakang. Padahal kita semua bertitel sama : WARGA NEGARA INDONESIA.

Saya yakin, ketika film - film seperti Denias dibuat. keuntungan tidak akan datang dengan cepat. Tetapi, kemudian hal ini akan dipertanyakan lagi ? Keuntungan macam apa yang ingin kita peroleh ? Apakah kita mau membuat film yang profit saja. Atau film yang berkualitas dan penuh dengan pesan moral ?

Bagi anda yang sudah bosan dengan film CINTA. Just watch Denias. You’ll see something else.
-northern_st4r-